Membunuh Tawanan Terbelenggu


Membunuh Tawanan Terbelenggu

Membunuh Tawanan Terbelenggu Pada satu saat, hiduplah seorang sufi yang amat penakut. Ketika orang lain pergi bertarung ke medan perang, ia tinggal di tenda tempat menyimpan barang, bersama para prajurit yang terluka dan cacat.

Setelah perang usai, prajurit yang lain kembali ke tenda dengan membawa harta pampasan perang. Mereka memberi sufi itu sebagian harta yang mereka bawa namun sang sufi malah membuangnya keluar.

“Mengapa kau marah-marah?” para prajurit bertanya keheranan.

“Aku tak ikut berjihad,” jawab sufi itu, “Aku tak mengambil bagian dari peperangan itu, dan aku takkan menerima apa pun darinya.”

Salah seorang pejuang berkata, “Kami juga membawa beberapa tawanan yang akan dihukum mati. Ambillah salah seorang, dan penggal kepalanya. Kau pun akan menjadi seorang pahlawan, sama seperti kami semua.”

Sufi pengecut itu berpikir, “Betul juga. Hal itu seperti satu ketentuan fikih; jika tak ada air untuk berwudhu, kita boleh menggunakan tanah.”

Lalu ia pun menyeret seorang tawanan dan membawanya ke belakang tenda, memulai peperangannya sendiri.

Setelah beberapa saat yang lama, sufi itu tak juga keluar dari belakang tenda. Prajurit lain mulai bertanya-tanya, “Tangan tawanan itu dibelenggu kuat, dan ia telah siap untuk mati, tapi mengapa darwis ini lama sekali membunuhnya?”

Salah seorang dari mereka segera menyusul ke belakang tenda untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika sampai, ia melihat pemandangan yang amat mengagetkan; tawanan itu berada di atas sang sufi yang terbaring tak berdaya, seperti seekor singa yang mencengkeram leher rusa. Tawanan kafir itu tengah mengigiti leher sufi yang kini hampir pingsan. Darah dari sufi membasahi seluruh janggut tawanan itu.

Inilah gambaran dari kamu semua, yang membiarkan jiwa kebinatanganmu. Meskipun nafsu hewanimu itu dibelenggu dengan pelbagai fikih agama, kau masih membiarkannya menguasaimu, berada di atasmu. Kau dan segala hukum-hukum agamamu tergeletak tak berdaya di bawah cengkeraman binatang buas itu.

Read the rest of this entry »