Rumi: Penyair Sufi Ahli Metafora


Rumi: Penyair Sufi Ahli Metafora

KH. Jalaluddin Rakhmat

“Rumi has influenced thousands of people across the centuries with his poetry and his vision of our relationship with God as a path of love. Today he is considered the most popular poet in the United States and his verses are published in books, filmed on video, and set to music on CDs so that he remains the flame that keeps alive the force of the divine in every living heart that is touched by his words.” Inilah akhir dari pengantar untuk buku The Illustrated Rumi.

Rumi menjadi penyair Islam yang abadi, bukan hanya karena ia seorang sufi, yang mengekspresikan pengalamannya sendiri. Rumi juga penyair besar karena kemampuannya yang luar biasa untuk mengungkapkan pengalaman mistikal dalam bahasa yang indah, jenaka, dan puitis. Karena puisi-puisinya menggunakan kata-kata Persia yang sukar dicari padanannya dalam bahasa lain, para penerjemah menyalin puisi Rumi menjadi gaya bebas, prosa, prosa liris, puisi, atau lagu, atau gabungan dari semuanya.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyebutkan satu lagi kekuatan puisi Rumi dan tulisan-tulisan lainnya. Rumi sangat mahir menggunakan metafora. Orang Persia menyebutnya zarbul matsal. Ia membimbing para pembacanya untuk memahami konsep-konsep yang sulit atau sekedar meyakini argumentasi yang dikemukakannya dengan berpikir analogis; alih-alih berpikir logis. Ketika seorang ahli fikih mengkritik dia karena berzikir sambil menari, Rumi membuat analogi. Bukankah dalam fikih ada kaidah “hal yang membahayakan dapat membenarkan hal yang dilarang.” Kita boleh makan yang haram, jika tubuh kita terancam kematian. Sekiranya menari itu haram, itu terpaksa dilakukan ketimbang ruh kita mengalami kematian. Ia analogikan kematian ruh dengan kematian tubuh.

Dalam Matsnawi, Rumi mengajak kita berpikir analogis dengan mengambil ilham dari cerita-cerita di dalamnya. Matsnawi adalah kumpulan metafora yang indah. Pada hampir setiap kalimat Rumi menyadarkan kita akan kealpaan dan kekeliruan kita dengan cara yang sangat elegan. Ia mengusik kita dengan sejumlah metafora. Ia membuat kita termenung lama dengan perumpamaaan dan perbandingan yang dibuatnya. Kita disentuh dengan halus, tidak melalui akal rasional kita. Ia menyentuh akal spiritual kita.

Berikut ini saya akan memberikan sebagian contoh saja. Dan kita mulai dengan pelajaran sederhana; Likes beget likes. Yang sejenis melahirkan yang sejenis lagi. Kita hanya bisa berdekatan dengan orang-orang yang mempunyai sifat yang sama dengan kita. Jangan sedih kalau ada sejumlah kawan meninggalkan Anda. Mereka pasti tidak mempunyai sifat yang sama dengan Anda. Begitu pula, jika Anda ingin dekat dengan Allah, seraplah sifat-sifat Dia. Jika Anda ingin jauh dari Dia, jauhilah sifat-sifat-Nya. Simaklah cerita yang pertama: Ketika Si Gila Tersenyum Padamu.

Galen, sang dokter agung itu menyuruh salah seorang asistennya untuk memberinya suatu obat. “Tuan Guru, obat itu untuk orang gila. Tuan sangat tidak memerlukannya!” Galen berkata, “Kemarin seorang gila menoleh kepadaku dan tersenyum. Ia mengangkat alisnya ke atas ke bawah. Ia memegang lengan bajuku. Ia tak mungkin berlaku begitu jika tidak melihat pada diriku sesuatu yang cocok dengannya.” Siapa saja yang merasa tertarik kepada orang lain, betapa pun singkatnya, pastilah memiliki satu kesadaran yang sama. Hanya di kuburan makhluk yang tidak sama bersahabat.

Seorang bijak pernah berkata, “Kulihat bangau dan elang terbang bersama. Aku tak paham. Lalu aku selidiki. Ternyata mereka memiliki hal yang sama. Keduanya pincang.” Ada sebabnya mengapa kumbang meninggalkan bunga mawar. Ia tidak tahan dengan semua keindahan di dalamnya. Ia ingin hidup di atas kotoran yang busuk, bukan bersama burung bulbul dan bunga-bunga. Perhatikan siapa yang menghindarimu. Itu juga akan mengungkapkan sifat batiniahmu. Tanda keabadian pada Adam bukan hanya karena para malaikat sujud kepadanya, tetapi juga karena setan tidak mau. (Matsnawi II:2095-2105, 2112-2123)

Pada kisah berikutnya, Rumi ingin menjelaskan makna firman Tuhan “Tidaklah kehidupan dunia ini kecuali tipuan saja.” Dunia menipu kita dengan penampilan, dengan apa yang tampak, dengan fenomena. Maka simak lagi kisah Malam Pengantin Faraj yang berikut ini.

Seorang raja mempunyai budak dari India bernama Faraj. Ia mendidiknya dengan baik. Seorang anak muda yang sangat ceria, rajin menuntut ilmu dan keahlian. Lilin akalnya telah dinyalakan. Ia berkembang pesat dalam anugerah sang raja. Raja punya seorang putri yang jelita. Tangan dan kakinya mulus dan putih bersinar seperti perak. Penampilannya cemerlang. Ia sudah hampir mencapai usia pernikahan. Banyak pelamar menawarkan mas kawin yang menakjubkan. Setiap hari peminang baru tiba. Sang raja yang bijaksana membatin, “Kekayaan tidak berarti apa-apa. Ia bertiup masuk bersama angin pagi dan keluar lagi di sore hari. Begitu pula keindahan jasmani, wajah yang cantik dapat dengan mudah terluka karena duri. Keturunan yang mulia juga tidak berharga. Anak-anak bangsawan itu hanya tertarik pada uang dan kuda.” Dan bakat istimewa juga tidak benar-benar berharga. Ada sejenis pengetahuan yang adalah cinta, bukan pengetahuan ilmiah. Mengumpulkan informasi yang kecil itu tidak akan membukakanmu. Ia akan menggelembungkanmu seperti janggut atau serban. Ia berteriak kepadamu, “Ada plus dan minus yang harus kita pertimbangkan.”

Pengetahuan cinta yang ini adalah cahaya yang terbersit, kebahagiaan dalam dua dunia. Raja memilih untuk puterinya seorang suami yang memiliki Sifat itu. Semua orang mengkritiknya, “Ia tidak kaya. Ia tidak cantik, dan tidak berasal dari garis keturunan yang terkenal.” Sang raja menjawab singkat, “Semua sifat tadi tidak penting.” Perkawinan pun direncanakan dan persiapan pun dimulai. Tetapi budak hindu Faraj menjadi sakit dan berdiam diri. Ia murung dan lemah. Dokter tidak dapat menentukan sebabnya.

Pada suatu malam raja berkata kepada istrinya, “Kamu hampir seperti ibu bagi Faraj. Pergilah kepadanya dan selidikilah halnya.” Pagi berikutnya ia pergi dan menyisir rambut Faraj. Ia mencium pipinya dan menghiburnya. Akhirnya Faraj menceritakan rahasianya, “Saya mencintai putrimu. Tak terbayangkan kamu akan memberikannya kepada yang lain!”

Ratu hampir tidak sanggup menahan keterkejutannya dan kemarahannya. “Bersabarlah,” hanya itu yang dia katakan dan ia kembali kepada raja, “Dapatkah kaubayangkan budak ini berfikir untuk mengawini putri kita!”

“Jangan kecam dia,” kata raja. “Malah ia harus diberi tahu bahwa kita akan memutuskan pertunangan dan mengawinkan anak kita kepadanya. Berita ini akan membuatnya sehat! Binatang menjadi kuat dan sehat dengan memberinya makanan. Anak muda dibuat bahagia dan lincah dengan harapan bahwa keinginannya untuk mendapat kehormatan dan perempuan akan segera terpuaskan.”

Begitulah anak muda itu diberi tahu. Dan pesta pun diselenggarakan untuk merayakan pernikahan Faraj. Faraj bangkit kembali, sehat wal afiat dan penuh energi.

Pada malam perkawinan, raja mengirim seorang pengganti –anak lelaki remaja yang bersembunyi dalam pakaian perempuan dengan kuku yang dicat, dan lengan yang dihias. Pada jam yang tertentu, suami yang bergairah ditinggalkan sendiri dengan sosok yang tertutup kelambu. Si bapak dengan cepat meniup lilin dan pergi. Terdengar teriakan karena terkejut. Tetapi karena hingar bingar musik tidak seorang pun di luar kamar yang mendengar. Genderang dan tambur bertalu-talu. Tangan-tangan terus bertepuk. Teriakan orang di luar kamar bergabung dengan teriakan kedua remaja di dalam.

Terbitlah fajar. Faraj dan orang yang berselubung itu berpadu dalam pelukan. Apa yang diketahui anjing dari sekarung tepung? Begitulah kemudian pakaian bersih dibawakan. Dalam keadaan yang sangat bingung, Faraj bangun dan pergi mandi. Dengan hati yang resah dan tercabik-cabik seperti tumpukan kain cucian, Faraj kembali melihat gadis yang sebenarnya, duduk di kursi pengantin beserta ibunya. Ia menatap mereka cukup lama, lalu mengangkat kedua tangannya dan melambaikannya. “Semoga tidak ada orang yang terkutuk karena mempunyai istri seperti itu! Di siang hari kamu tampak cantik jelita. Di malam hari kepunyaanmu rusak dan lebih buruk dari keledai!”

Seperti itulah semua kesenangan dunia. Mereka tampak indah sebelum kamu mencobanya. Dunia tampak seperti mempelai jelita. Lebih bersabarlah kamu ketimbang Faraj!

Kehormatan yang kamu cita-citakan, kekuasaan di atas orang lain, lepaskan semuanya itu. Lebih baik tidak menunggangi punggung orang lain. Karena dengan cara itulah kita sampai ke kuburan. Perhatikan saja urusanmu. Jika cambukmu jatuh, turunlah dan ambil sendiri. Jangan suruh orang lain melakukan pekerjaanmu. Tanyalah jauh ke dalam dirimu. Ketika Kehadiran itu membimbingmu, apa pun yang kau lakukan akan menjadi benar walaupun di luar tampak keliru. Jangan memaki tiram karena kerangnya yang buruk dan melengkung. Di dalamnya hanya ada mutiara. Tidak jelas bagaimana harus menggambarkan diri kita dengan fenomena di sekitar kita.

Seperti laron dengan lilin, kita membakar sayap kita lalu melupakan lagi dan kembali berbuat yang sama. Seperti kanak-kanak, kita muntahkan garam, dan setelah itu memuntahkannya lagi. Seperti Faraj, kita mengangkat kedua tangan kita dan berkata, “Tidak! Wajahmu sangat cantik tapi di ranjang kamu betul-betul berbeda. Aku tidak akan tertipu lagi!” Tetapi, ia akan tertipu lagi. Kita sudah membulatkan tekad, tapi kita lupakan lagi. Kertas berterbangan dan kemudian menghilang. (Matsnawi VI:249-356)

Jika Anda ingin mengenal diri Anda, sebelum dapat mengenal Tuhan, ikutilah nasihat Rumi dalam dua kisah terakhir di bawah ini: Kambing Berlutut dan Bebek Lautan:

Kambing Berlutut Batin manusia seperti rimba. Kadang-kadang serigala berkuasa, terkadang babi-babi liar. Berhati-hatilah ketika kamu bernafas.

Sekali waktu sifat yang lembut dan pemurah bagaikan Yusuf, berganti menjadi sifat yang lain. Pada waktu yang lain, sifat-sifat yang jahat bergerak secara tersembunyi.

Kearifan bergeser sejenak menjadi sapi! Kuda yang meradang dan membangkang tiba-tiba menjadi tunduk dan patuh. Beruang mulai menari, kambing berlutut!

Kesadaran manusia berubah menjadi anjing, dan anjing menjadi gembala, atau pemburu. Di Gua Ashabul Kahfi, bahkan anjing pun menjadi pencari makrifat.

Setiap saat, makhluk baru bangkit di dalam dada –kadang setan, kadang malaikat, kadang binatang buas. Bahkan di rimba yang menakjubkan ini ada mereka yang dapat menyerapmu ke dalam kepasrahan mereka sendiri. Jika kamu harus mencuri sesuatu, curilah dari mereka. (Matsnawi II:1416-1429)

Bebek Lautan

Kamu adalah bebek lautan lepas yang dibesarkan bersama ayam kampung!

Ibumu yang sebenarnya hidup di samudera, tapi pengasuhmu unggas daratan. Jiwamu yang paling dalam mengarah ke lautan. Setiap gerakan darat yang kau buat, kau pelajari dari pengasuhmu, ayam kampung. Sudah datang saatnya kamu bergabung dengan bebek!

Pengasuhmu akan menakut-nakuti kamu dengan air garam, tapi jangan dengarkan dia! Samudera adalah rumahmu, bukan kandang ayam yang bau. Kamu adalah raja, putera Adam, yang dapat menempuh lautan dan daratan. Malaikat tidak berjalan di atas bumi, dan binatang tidak berenang di samudera ruhani.

Kamu adalah pria atau wanita. Kamu adalah keduanya. Kau berjalan tertatih-tatih, dan kamu terbang melingkar berputar mengarungi angkasa. Kita adalah burung-burung air, duhai anakku. Samudera mengenal bahasa kita dan mendengar kita dan menjawab kita.

Laut adalah Sulaiman kita. Melangkahlah ke dalamnya dan biarkan air Daud membuat kita menjadi tetes indah bersama riaknya. Lautan selalu di sekitar kita, tapi karena kesombongan dan kealpaan kita, kadang-kadang kita mabuk laut. (Matsnawi 3:3766-3810)

Makalah KH. Jalaluddin Rakhmat dalam Seminar Puisi Rumi, di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Jumat, 2 Februari 2001.

RUMAH SERIBU CERMIN


RUMAH SERIBU CERMIN

Noor Aida

Dahulu, di sebuah desa kecil yang terpencil, ada sebuah rumah yang dikenal dengan nama “Rumah Seribu Cermin.”

Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di desa itu dan melintasi “Rumah Seribu Cermin”. Ia tertarik pada rumah itu dan memutuskan untuk masuk melihat-lihat apa yang ada di dalamnya.

Sambil melompat-lompat ceria ia menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu depan. Telinga terangkat tinggi-tinggi.

Ekornya bergerak-gerak secepat mungkin. Betapa terkejutnya ia ketika masuk ke dalam rumah, ia melihat ada seribu wajah ceria anjing-anjing kecil dengan ekor yang bergerak-gerak cepat.

Ia tersenyum lebar, dan seribu wajah anjing kecil itu juga membalas dengan senyum lebar, hangat dan bersahabat.

Ketika ia meninggalkan rumah itu, ia berkata pada dirinya sendiri, “Tempat ini sangat menyenangkan. Suatu saat aku akan kembali mengunjunginya sesering mungkin.”

Read the rest of this entry »

ANJING DAN KELEDAI


ANJING DAN KELEDAI

Seorang yang baru saja menemukan cara memahami arti suara-suara yang dikeluarkan binatang, pada suatu berjalan sepanjang lorong di desa.

Dilihatnya seekor keledai, yang baru saja meringkik dan di sampingnya ada seekor anjing, menyalak-nyalak sekeras-keras- nya.

Ketika orang itu semakin dekat, arti pertukaran suara binatang itu bisa ditangkapnya.

“Uh, bosan! Kau ngomong saja tentang rumput dan padang rumput yang kering bisa dipergunakan sebagai pengganti daging,” katanya menyela.

Kedua binatang itu memandangnya sejenak. Anjing menyalak keras-keras sehingga suara orang itu tak terdengar sama sekali; dan keledai menyepak dengan kaki belakangnya tepat mengenai orang itu sampai kelenger.

Kemudian kedua binatang kembali adu mulut.

Catatan

Kisah ini, yang menyerupai kisah Rumi, adalah fabel dalam kumpulan kisah Majnun Qalandar, yang mengembara selama empat puluh tahun pada abad ketiga belas, membacakan kisah nasehat di pasar-pasar. Beberapa orang mengatakan bahwa ia benar-benar gila (seperti yang ditunjukkan oleh namanya); orang-orang lain beranggapan bahwa ia merupakan salah seorang di antara “Orang-orang yang berubah”– yang telah mengembangkan pengertian adanya hubungan antara benda-benda, yang oleh orang-orang biasa dianggap terpisah.

Read the rest of this entry »